:c
Institusi pendidikan tinggi seperti universitas, institut, sekolah tinggi hingga akademi, merupakan institusi-institusi yang memiliki peluang cukup signifikan dalam mengaplikasikan praktek-praktek knowledge management (KM) untuk mendukung setiap bagian dari misi mereka (Rowley, 2000, p.329). Institusi-institusi tersebut khususnya di Indonesia dalam menjalankan aktivitas keseharian mereka, tidak terlepas dari apa yang disebut sebagai tridarma perguruan tinggi. Tridarma perguruan tinggi itu kegiatannya meliputi; pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Menariknya adalah konsep yang diusung dalam kegiatan-kegiatan tersebut berhubungan langsung dan berkesesusaian dengan konsep yang dikenal sebagai KM.
KM merupakan serangkaian praktek-praktek yang memungkinkan organisasi-organisasi untuk mengumpulkan informasi dan membagi apa yang mereka ketahui sehingga hasilnya dapat mengarahkan tindakan organisasi untuk memperbaiki outcomes-nya (ISKME.com, 2008)- ini salah satu dari sekian banyak definisi KM. Pada gilirannya menjadi sebuah kewajiban bagi semua pihak untuk melakukan evaluasi terhadap kegiatan KM ketika mereka sudah menjalankannya. Hasil evaluasi tersebut akan dapat menentukan kesuksesan praktek-praktek KM yang telah dicapai mereka dalam rentang waktu yang mereka harapkan.
Kesuksesan KM menunjukkan pencapaian praktek-praktek KM yang telah dijalankan sebuah organisasi dalam rentang waktu tertentu, biasanya dalam jangka panjang. Namun sayangnya belum ada suatu kesepakatan dari para ahli mengenai definisinya. Hal ini disebabkan karena disiplin ilmu KM ini memang relatif masih muda (diakui sebagai sebuah disiplin ilmu mulai tahun 1995). Karena itu tidak mengherankan kalau konsep, klasifikasi (taxonomy) dan model KM ini begitu beraneka ragam dan terus bertumbuh. Dalam keadaan yang demikian setiap orang bisa mendefinisikan konsep dan mengklasifikasikan sendiri KM yang mereka jalankan. Mereka bisa saja mendefinisikan KM secara sempit maupun mendefinisikannya dalam artian yang luas. Dengan begitu penilaian kesuksesan KM bergantung dari posisi mana mereka memahami KM.
Walau begitu usaha-usaha untuk mencari cara menilai pencapaian kesuksesan KM tetap berlanjut hingga sekarang. Salah satu usaha tersebut yaitu dengan menciptakan suatu model penilaian kesuksesan KM sebagai solusi dari sulitnya mengukur hasil praktek-praktek KM. Kesulitan itu timbul karena memang hasil KM bagi organisasi dampaknya baru terlihat setelah waktu yang lama. Dengan model pengukuran kesuksesan KM tersebut, permasalahan ini bisa terpecahkan sehingga suatu organisasi bisa menilai kesuksesan praktek-praktek KM dimaksud dalam waktu yang diinginkan.
Yang menggembirakan adalah bahwa saat ini telah bermunculan berbagai model pengukuran kesuksesan KM. Model-model itu adalah model kesuksesan Bots and de Bruijn (2002) KM value chain, Massey, Montoya-Weiss, and Driscoll (2002) KM success model, Lindsey (2002) KM effectiveness model, Jennex and Olfman (2004) KMS success model, dan Maier (2002) KMS success model application of the framework serta model kesuksesan KM Kulkarni et al. (2006). Model-model ini terus diuji secara empiris oleh peneliti dalam rangka menghasilkan suatu pemahaman yang baik terhadap hasil pencapaian KM. Walau model-model ini mempunyai dan berangkat dari pemahaman yang berbeda terhadap KM, namun yang menarik untuk dicatat adalah model ini menawarkan suatu solusi bagi pengukuran kinerja sistem KM atau KM.
Berdasarkan literatur yang ada, selama ini praktek-praktek KM tersebut banyak ditinjau hanya dari perspektif korporasi. Namun sebenarnya sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa dari perspektif pendidikan, menggunakan KM (teknik dan teknologi nya) pada perguruan tinggi adalah sangat relevan. Jika dilakukan secara efektif, teknik dan teknologi KM itu dapat mengarahkan institusi pendidikan tinggi pada, (Kidwell et al. 2000, p 31):
1. Kemampuan dalam pengambilan keputusan yang lebih baik.
2. Mengurangi siklus waktu pengembangan produk (contoh; pengembangan kurikulum dan riset).
3. Memperbaiki pelayanan administrasi dan akademik, dan
4. Mengurangi berbagai item biaya-biaya.
Namun disayangkan bahwa masih banyak perguruan tinggi kurang memiliki pengorganisasian KM yang dijalankan dan bahkan tidak ada sebuah pemahaman yang baik terhadap KM itu sendiri (Kidwell et al. 2000 dalam Serban, 2001 p.13). Hal ini semakin diperjelas dengan adanya sebuah artikel yang mempertanyakan dan melontarkan tantangan terhadap perguruan tinggi, apakah perguruan tinggi sudah siap dalam mengaplikasikan KM? (Rowley, 2000, p.325; Kidwell et al.2000, p.31). Ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi yang aktivitas kesehariannya berkaitan erat dengan KM belum tentu telah menjalankan KM- berdasarkan pemahaman Rowley dan Kidwell.
Isu di atas tentu saja juga menjadi sangat relevan untuk perguruan tinggi di Indonesia. Apakah perguruan tinggi di Indonesia telah menjalankan praktek-praktek KM?.
untuk baca detailnya, silahkan
download disini
download fileWassalam: Alfitman